Sabtu, 11 Agustus 2012

Cerita di Tebing Gunung


Hening. Aku diam dan hanya menatap kebawah sambil memegang erat batu-batu ini. Keringatku terus bercucuran, jantung ku berdegup kencang,dan aku haus. Tapi aku tidak mau berhenti disini tanpa satu pergerakan apapun. Kulihat Bang Riski yang berada tidak jauh dari aku dan dia juga sedang berada dalam posisi yang kurang lebih sama seperti aku, Bertahan di tebing gunung Sibayak ini dengan hanya bermodalkan pegangan erat pada batu batu yang menempel di tebing ini.

Sebelumnya, kami masih berada di Puncak Gunung Sibayak ini bersama kelompok kami ditemani oleh 2 orang pengawas. Kami mendaki puncak Gunung Sibayak ini melalui jalur yang sudah dibuat oleh pemerintah, jalur yang sudah sangat mudah untuk dilalui. Dimulai dari Desa Jaranguda, kami berjalan ke atas, ke puncak gunung cukup dengan mengikuti jalan beraspal yang sudah disediakan oleh pemerintah sehingga kami tidak perlu takut tersesat, ditambah lagi adanya jalan-jalan setapak yang dibuat oleh masyarakat setempat ke puncak gunung menjadikan perjalanan kami begitu mudahnya untuk mencapai puncak Gunung Sibayak ini.

Setelah beberapa jam kami menghabiskan waktu di Gunung Sibayak ini, pengawas kami lalu mengisyaratkan kami untuk bersiap siap pulang. Tapi, tiba-tiba dia beranjak menjumpai bang Riski yang kebetulan sedang bersamaku melihat indahnya pemandangan dari sini dan dia langsung memulai pembicaraan, “ Ki, gimana kalo kita lewat jalur hutan, biar langsung tembus ke Air Panas Doulu” katanya bertanya kepada bang Riski. Sejenak bang Riski berpikir lalu dia beranjak ke tepi tebing gunung itu dan melihat kebawah, ke jalan setapak yang lain yang jalurnya mengarah langsung ke Hutan dan tembus ke Air Panas Doulu, dia terkejut. Tebing itu ternyata baru saja terkena Longsor.

“Kayaknya kita ga bisa dari sini kak, ini baru aja kena Longsor. Ga nampak lagi jalan setapaknya pun,terlalu berbahaya” kata bang Riski menimpali pertanyaan Pengawas itu . Tapi sepertinya Pengawas kami ini kurang puas dengan jawaban bang Riski dan tetap ingin melanjutkan perjalanan dari jalur hutan itu. Saat pengawas kami ini akan mengumumkan perubahan jalur kami ini, bang Riski langsung menahan dan meminta kepada Pengawas ini untuk menunggu sebentar. Bang Riski ingin mengecek keadaan kebawah, dan itu disetujui pengawas. Bang Riski langsung turun kebawah, dan aku langsung mengikutinya. Batu-Batu ini licin dan ada yang tidak tertempel dengan baik pada dinding tebing, sehingga saat ditarik bisa langsung lepas. Dan aku sudah 2 kali hampir terjatuh karena Batu “Hidup” ini.

Kami terus beranjak kebawah,terus dan terus. Menuruni Tebing tanpa ada alat pengaman apapun, dan harus betul betul teliti dalam memilih batu yang tepat untuk dijadikan pijakan dan pegangan, harus melompat antara batu satu dengan batu yang lain dengan konsentrasi harus betul betul penuh cukup membuat energi kami cepat habis. Akhirnya, karena betul betul lelah, saat kami melihat batu Besar didinding Tebing gunung itu, kami bergerak ke situ untuk beristirahat dan bersiap untuk kembali keatas. Kami meminum minuman kami sampai habis karena begitu hausnya. Sambil beristirahat, aku dan bang Riski bercerita dan dia bilang kalau kita harus kembali dan bilang ke pengawas kalau ini betul betul berbahaya dan kita harus pulang melalui jalur semula. Aku mengiyakan dan langsung menggendong kembali ranselku.
Bang Riski langsung memanjat tebing untuk kembali ke atas, dan aku mengikutinya dari belakang, untuk beberapa kali panjatan kami masih dapat melakukannya tanpa ada sesuatu apapun. Namun beberapa saat kemudian, Bang Riski yang berada di atasku tiba tiba menoleh kebawah (aku) sambil mengisyaratkan aku harus pindah ke samping kanan dengan gerakan bibirnya, aku mengerti dan langsung memanjat dari samping kanan dan beranjak untuk sampai sejajar dengan dia, lalu dia berkata sesuatu yang sempat membuat aku putus asa, “Coba Lihat kebelakang”, lalu aku melihat kebelakang dan terkesima,
K
ota Medan Terlihat dari sudut sini dan itu mulai membuat aku lemas dan putus asa. Kenapa? Karena itu berarti kami sudah berada disisi lain gunung ini dan kami sudah bingung harus melangkah kemana. Aku melihat kebawah, Dibawah sudah tak terlihat lagi Desa Doulu yang sebelumnya aku lihat pada saat masih bergerak turun. Seharusnya aku masih bisa melihat Kota Berastagi yang kecil nan damai itu dari sebelah kananku saat aku beranjak turun. Tapi sekarang yang aku lihat hanya lah Hutan di bawahku, dan jauh disana aku melihat kota Medan dengan desa desa lain disekelilingnya. Lesu. Itu yang kurasakan saat itu juga, begitu juga dengan bang Riski, kulihat wajahnya begitu lelah dan ingin segera mengakhiri ini dan pulang. Kami terdiam sesaat sampai kami melihat ada batu batu yang berjatuhan dari kanan, jauh dari tempat kami berdiri saat ini dan itu bukan batu yang jatuh karena longsor, tapi itu batu yang dilemparkan oleh kelompok kami kebawah. Kami tidak tahu apa tujuan mereka melakukan itu, tapi itu sangat membantu kami untuk menemukan jalan pulang. Aku tiba-tiba semangat dan langsung mengajak bang Riski untuk bergerak lagi. Dia tetap pada ekspresi lelahnya tanpa ada sedikit pun senyum. Tapi dia langsung bergerak.

Kami terus berusaha sampai ke puncak itu tanpa kenal lelah, beberapa kali aku terpeleset karena batu-batu yang masih licin karena bekas hujan tadi malam, ditambah karena batu-batu ‘hidup’ yang sempat aku membuat aku berhenti bernapas karena kagetnya. Tapi itu tidak mematahkan semangat untuk kembali. Aku dan bang Riski saling membantu dan menopang disaat ini.

Aku ingat, waktu itu ada satu kejadian dimana aku harus melompat, dari batu pijakan satu ke batu pijakan disebelahnya. Bang Riski berhasil melewati itu dan menunggu aku di batu pijakan itu. Batu pijakan itu cukup besar untuk kami berdua. Aku Ragu, Aku melihat kebawah, betapa curamnya tebing ini, ditambah lebarnya jarak antara batu pijakan yang sedang aku pijak sekarang ke batu pijakan berikut tempat bang Riski berpijak. Itu betul-betul membuat aku gentar. Aku melihat dia dan dia mengangguk, tanda dia meyakinkan aku kalau aku mampu. Dia mengulurkan tangannya untuk menggapai tanganku. Akhirnya setelah aku menarik napas panjang, aku berusaha melompat. Aku melompat.

Tanpa disangka, lompatanku tidak sampai penuh, tapi tangan ku berhasil menggapai tangan bang Riski, dan Kaki kiriku berhasil mencapai batu itu. Tapi berat badanku membuat aku hampir langsung terperosok kebawah. Entah kekuatan apa yang mampu membuat tenagakubegitu penuh untuk melompat dengan kaki kiri yang tertekuk seperti itu, ditambah dengan bantuan bang Riski aku berhasi naik dan dengan wajah yang betul betul pucat. Itu sangat menyeramkan dan memacu adrenalin. Kami tidak ada berbicara dan tanpa pikir panjang kami langsung melanjutkan usaha kami untuk mencapai puncak.

Telapak tanganku luka, tapi aku tidak lagi merasakan sakit. Yang kupikirkan saat ini hanya satu. PULANG.

Kami terus memanjat tebing dan tidak lagi melihat kebelakang ataupun kebawah. Kami hanya fokus ke atas, ketempat dimana Batu-batu itu dijatuhkan. Tapi Perjuangan itu tidaklah mudah, satu hal yang betul betul menakutkan adalah saat bang Riski terperosok dari atas ku.

Saat itu dia sudah berada beberapa kaki diatasku, dan aku dibawahnya kebetulan berada pada batu pijakan yang agak sedikit lebar. Tanpa disangka-sangka, batu pegangan bang Riski lepas dan dia langsung terperosok kebawah. Aku terkejut dan langsung berusaha menangkapnya. Hampir saja dia betul betul jatuh kebawah kalau aku tidak berhasil menarik kerah bajunya ke batu pijakanku saat ini. Ku lihat lagi ekspresinya, pucat dan betul betul seperti orang yang sudah sangat lelah, dan putus asa. Tapi dia langsung bangkit dan mengisyaratkan aku lagi untuk melanjutkan. Kami terlalu letih untuk berbicara.

Banyak kejadian yang kami alami saat itu, dan disitulah kami merasakan bagaimana arti pertemanan, Kami tidak akan meninggalkan satu sama lain, dan kami tidak akan memberitau teman untuk memegang batu pijakan yang salah. Walau tadi aku mengatakan bang Riski tidak tersenyum, tapi tidak berarti dia tidak mampu membangkitkan semangatku. Bahasa isyarat yang dia tunjukkan membuat aku mengerti dan aku menjadi punya Visi kedepan. Dan itu sangat Memotivasi aku.

Akhirnya kami sampai ke atas dengan begitu lelahnya, ditambah lagi kami dimarahi pengawas karena begitu lamanya. Dia mengatakan kami hampir 2 jam lebih berada dibawah. Dan kami tidak menceritakan hal ini kepadanya. Kami tersenyum dan langsung berjalan pulang dari jalur yang pertaman dengan perasaan yang bersyukur. Sangat Bersyukur. Tuhan maha pengasih dan dia selalu memberi pertolongan tepat pada waktunya. THE END.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar