Hening. Aku diam dan hanya menatap
kebawah sambil memegang erat batu-batu ini. Keringatku terus bercucuran,
jantung ku berdegup kencang,dan aku haus. Tapi aku tidak mau berhenti
disini tanpa satu pergerakan apapun. Kulihat Bang Riski yang berada tidak jauh
dari aku dan dia juga sedang berada dalam posisi yang kurang lebih sama seperti
aku, Bertahan di tebing gunung Sibayak ini dengan hanya bermodalkan pegangan
erat pada batu batu yang menempel di tebing ini.
Sebelumnya, kami masih berada di
Puncak Gunung Sibayak ini bersama kelompok kami ditemani oleh 2 orang pengawas.
Kami mendaki puncak Gunung Sibayak ini melalui jalur yang sudah dibuat oleh
pemerintah, jalur yang sudah sangat mudah untuk dilalui. Dimulai dari Desa
Jaranguda, kami berjalan ke atas, ke puncak gunung cukup dengan mengikuti jalan
beraspal yang sudah disediakan oleh pemerintah sehingga kami tidak perlu takut
tersesat, ditambah lagi adanya jalan-jalan setapak yang dibuat oleh masyarakat
setempat ke puncak gunung menjadikan perjalanan kami begitu mudahnya untuk
mencapai puncak Gunung Sibayak ini.
Setelah beberapa jam kami
menghabiskan waktu di Gunung Sibayak ini, pengawas kami lalu mengisyaratkan
kami untuk bersiap siap pulang. Tapi, tiba-tiba dia beranjak menjumpai bang
Riski yang kebetulan sedang bersamaku melihat indahnya pemandangan dari sini
dan dia langsung memulai pembicaraan, “ Ki, gimana kalo kita lewat jalur hutan,
biar langsung tembus ke Air Panas Doulu” katanya bertanya kepada bang Riski.
Sejenak bang Riski berpikir lalu dia beranjak ke tepi tebing gunung itu dan
melihat kebawah, ke jalan setapak yang lain yang jalurnya mengarah langsung ke
Hutan dan tembus ke Air Panas Doulu, dia terkejut. Tebing itu ternyata baru
saja terkena Longsor.
“Kayaknya kita ga bisa dari sini
kak, ini baru aja kena Longsor. Ga nampak lagi jalan setapaknya pun,terlalu
berbahaya” kata bang Riski menimpali pertanyaan Pengawas itu . Tapi sepertinya
Pengawas kami ini kurang puas dengan jawaban bang Riski dan tetap ingin
melanjutkan perjalanan dari jalur hutan itu. Saat pengawas kami ini akan
mengumumkan perubahan jalur kami ini, bang Riski langsung menahan dan meminta
kepada Pengawas ini untuk menunggu sebentar. Bang Riski ingin mengecek keadaan
kebawah, dan itu disetujui pengawas. Bang Riski langsung turun kebawah, dan aku
langsung mengikutinya. Batu-Batu ini licin dan ada yang tidak tertempel dengan
baik pada dinding tebing, sehingga saat ditarik bisa langsung lepas. Dan aku
sudah 2 kali hampir terjatuh karena Batu “Hidup” ini.
Kami terus beranjak kebawah,terus
dan terus. Menuruni Tebing tanpa ada alat pengaman apapun, dan harus betul
betul teliti dalam memilih batu yang tepat untuk dijadikan pijakan dan
pegangan, harus melompat antara batu satu dengan batu yang lain dengan
konsentrasi harus betul betul penuh cukup membuat energi kami cepat habis.
Akhirnya, karena betul betul lelah, saat kami melihat batu Besar didinding
Tebing gunung itu, kami bergerak ke situ untuk beristirahat dan bersiap untuk
kembali keatas. Kami meminum minuman kami sampai habis karena begitu hausnya.
Sambil beristirahat, aku dan bang Riski bercerita dan dia bilang kalau kita
harus kembali dan bilang ke pengawas kalau ini betul betul berbahaya dan kita
harus pulang melalui jalur semula. Aku mengiyakan dan langsung menggendong
kembali ranselku.
Bang Riski langsung memanjat
tebing untuk kembali ke atas, dan aku mengikutinya dari belakang, untuk
beberapa kali panjatan kami masih dapat melakukannya tanpa ada sesuatu apapun.
Namun beberapa saat kemudian, Bang Riski yang berada di atasku tiba tiba menoleh
kebawah (aku) sambil mengisyaratkan aku harus pindah ke samping kanan dengan
gerakan bibirnya, aku mengerti dan langsung memanjat dari samping kanan dan
beranjak untuk sampai sejajar dengan dia, lalu dia berkata sesuatu yang sempat
membuat aku putus asa, “Coba Lihat kebelakang”, lalu aku melihat kebelakang dan
terkesima,
K
ota Medan Terlihat dari sudut sini dan itu mulai membuat aku lemas dan putus asa. Kenapa? Karena itu berarti kami sudah berada disisi lain gunung ini dan kami sudah bingung harus melangkah kemana. Aku melihat kebawah, Dibawah sudah tak terlihat lagi Desa Doulu yang sebelumnya aku lihat pada saat masih bergerak turun. Seharusnya aku masih bisa melihat Kota Berastagi yang kecil nan damai itu dari sebelah kananku saat aku beranjak turun. Tapi sekarang yang aku lihat hanya lah Hutan di bawahku, dan jauh disana aku melihatkota Medan dengan desa desa lain disekelilingnya. Lesu. Itu yang
kurasakan saat itu juga, begitu juga dengan bang Riski, kulihat wajahnya begitu
lelah dan ingin segera mengakhiri ini dan pulang. Kami terdiam sesaat sampai
kami melihat ada batu batu yang berjatuhan dari kanan, jauh dari tempat kami
berdiri saat ini dan itu bukan batu yang jatuh karena longsor, tapi itu batu
yang dilemparkan oleh kelompok kami kebawah. Kami tidak tahu apa tujuan mereka
melakukan itu, tapi itu sangat membantu kami untuk menemukan jalan pulang. Aku
tiba-tiba semangat dan langsung mengajak bang Riski untuk bergerak lagi. Dia
tetap pada ekspresi lelahnya tanpa ada sedikit pun senyum. Tapi dia langsung
bergerak.
K
ota Medan Terlihat dari sudut sini dan itu mulai membuat aku lemas dan putus asa. Kenapa? Karena itu berarti kami sudah berada disisi lain gunung ini dan kami sudah bingung harus melangkah kemana. Aku melihat kebawah, Dibawah sudah tak terlihat lagi Desa Doulu yang sebelumnya aku lihat pada saat masih bergerak turun. Seharusnya aku masih bisa melihat Kota Berastagi yang kecil nan damai itu dari sebelah kananku saat aku beranjak turun. Tapi sekarang yang aku lihat hanya lah Hutan di bawahku, dan jauh disana aku melihat
Kami terus berusaha sampai ke
puncak itu tanpa kenal lelah, beberapa kali aku terpeleset karena batu-batu
yang masih licin karena bekas hujan tadi malam, ditambah karena batu-batu
‘hidup’ yang sempat aku membuat aku berhenti bernapas karena kagetnya. Tapi itu
tidak mematahkan semangat untuk kembali. Aku dan bang Riski saling membantu dan
menopang disaat ini.
Aku ingat, waktu itu ada satu
kejadian dimana aku harus melompat, dari batu pijakan satu ke batu pijakan
disebelahnya. Bang Riski berhasil melewati itu dan menunggu aku di batu pijakan
itu. Batu pijakan itu cukup besar untuk kami berdua. Aku Ragu, Aku melihat
kebawah, betapa curamnya tebing ini, ditambah lebarnya jarak antara batu
pijakan yang sedang aku pijak sekarang ke batu pijakan berikut tempat bang
Riski berpijak. Itu betul-betul membuat aku gentar. Aku melihat dia dan dia
mengangguk, tanda dia meyakinkan aku kalau aku mampu. Dia mengulurkan tangannya
untuk menggapai tanganku. Akhirnya setelah aku menarik napas panjang, aku berusaha
melompat. Aku melompat.
Tanpa disangka, lompatanku tidak
sampai penuh, tapi tangan ku berhasil menggapai tangan bang Riski, dan Kaki
kiriku berhasil mencapai batu itu. Tapi berat badanku membuat aku hampir
langsung terperosok kebawah. Entah kekuatan apa yang mampu membuat
tenagakubegitu penuh untuk melompat dengan kaki kiri yang tertekuk seperti itu,
ditambah dengan bantuan bang Riski aku berhasi naik dan dengan wajah yang betul
betul pucat. Itu sangat menyeramkan dan memacu adrenalin. Kami tidak ada berbicara
dan tanpa pikir panjang kami langsung melanjutkan usaha kami untuk mencapai
puncak.
Telapak tanganku luka, tapi aku
tidak lagi merasakan sakit. Yang kupikirkan saat ini hanya satu. PULANG.
Kami terus memanjat tebing dan
tidak lagi melihat kebelakang ataupun kebawah. Kami hanya fokus ke atas,
ketempat dimana Batu-batu itu dijatuhkan. Tapi Perjuangan itu tidaklah mudah,
satu hal yang betul betul menakutkan adalah saat bang Riski terperosok dari
atas ku.
Saat itu dia sudah berada beberapa
kaki diatasku, dan aku dibawahnya kebetulan berada pada batu pijakan yang agak
sedikit lebar. Tanpa disangka-sangka, batu pegangan bang Riski lepas dan dia
langsung terperosok kebawah. Aku terkejut dan langsung berusaha menangkapnya.
Hampir saja dia betul betul jatuh kebawah kalau aku tidak berhasil menarik
kerah bajunya ke batu pijakanku saat ini. Ku lihat lagi ekspresinya, pucat dan
betul betul seperti orang yang sudah sangat lelah, dan putus asa. Tapi dia
langsung bangkit dan mengisyaratkan aku lagi untuk melanjutkan. Kami terlalu
letih untuk berbicara.
Banyak kejadian yang kami alami
saat itu, dan disitulah kami merasakan bagaimana arti pertemanan, Kami tidak
akan meninggalkan satu sama lain, dan kami tidak akan memberitau teman untuk
memegang batu pijakan yang salah. Walau tadi aku mengatakan bang Riski tidak
tersenyum, tapi tidak berarti dia tidak mampu membangkitkan semangatku. Bahasa
isyarat yang dia tunjukkan membuat aku mengerti dan aku menjadi punya Visi
kedepan. Dan itu sangat Memotivasi aku.
Akhirnya kami sampai ke atas
dengan begitu lelahnya, ditambah lagi kami dimarahi pengawas karena begitu
lamanya. Dia mengatakan kami hampir 2 jam lebih berada dibawah. Dan kami tidak
menceritakan hal ini kepadanya. Kami tersenyum dan langsung berjalan pulang dari
jalur yang pertaman dengan perasaan yang bersyukur. Sangat Bersyukur. Tuhan
maha pengasih dan dia selalu memberi pertolongan tepat pada waktunya. THE END.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar